Pemerintah mencari jurus jitu untuk mengurai berbelitnya birokrasi pencairan dana desa. Harapannya, terjadi percepatan pencairan dana desa agar dapat digunakan untuk menggerakkan pembangunan desa.
"Jadi, syaratnya kami minta disederhanakan," ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro saat ditemui di Kantor Presiden kemarin (8/9).
Menurut dia, saat ini banyak desa yang belum bisa mencairkan dana desa karena belum memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan pemda
Misalnya, keharusan menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), rancangan pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), hingga rencana kerja pembangunan desa (RKPDes). ''Nanti berbagai syarat itu cukup satu lembar,'' katanya.
Bambang menyebutkan, aturan penyederhanaan syarat tersebut masuk dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yakni menteri keuangan, menteri dalam negeri, serta menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi.
Selain tata cara pencairan, lanjut Bambang, SKB tersebut mengatur prioritas penggunaan dana desa, yakni pembangunan jalan dan saluran irigasi, serta tata cara pertanggungjawabannya. ''Intinya, dana desa harus digunakan untuk membangun infrastruktur,'' ucapnya.
Terhambatnya pencairan dana desa menjadi beban bagi pemerintah. Selain terus mencari jalan keluar jangka pendek, pemikiran untuk mengubah penyaluran menjadi langsung ke rekening pemerintah desa mulai dipertimbangkan pemerintah.
Kemungkinan tersebut sedang dipertimbangkan untuk diterapkan pada penyaluran tahap kedua mendatang. "Sepanjang desanya siap dan semuanya punya rekening, bisa saja langsung. Tinggal nanti terserah menteri keuangan," kata Mendagri Tjahjo Kumolo.
Meski demikian, lanjut dia, kalaupun dana desa langsung disalurkan ke pemerintah desa, mekanisme pertanggungjawaban tetap mengikuti model sebelumnya.
Dituding sebagai penyebab lambatnya pencairan dana desa, pemerintah daerah gerah. Mereka justru menuding pemerintah pusat terlalu sering mengubah aturan sehingga daerah tidak bisa menyerap anggaran tersebut.
Hal itu diungkapkan Ketua Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Indonesia) Mardani H. Maming. ''Saya berikan contoh soal peraturan pemerintah. Kami sudah berpatokan pada PP No 60/2014. Eh, kemudian muncul PP No 22/2015 yang terbit pada pertengahan tahun,'' ungkap bupati Tanah Bumbu tersebut.
Dia menyatakan, dengan munculnya aturan baru, pemerintah daerah di bawah pun bingung. ''Kami memang sudah mendapat transfer dana dari pemerintah pusat, tetapi tidak bisa digunakan."
Mengapa tidak bisa? Mardani memaparkan alasannya. Pertama, para petugas pendampingan kecamaSebanyak 64 kepala daerah tersangkut perkara korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korapsi (KPK) sepanjang lembaga ini berdiri. Para pemimpin daerah dari Aceh hingga Papua pernah terjerat, baik gubernur maupun bupati/wali kota. Ironisnya, dari tahun ke tahun, jumlah korupsi tak menunjukkan ada indikasi penurunan.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengatakan, tingginya jumlah pejabat daerah yang terkena kasus korupsi tak lepas dari sistem politik dalam pemilihan kepala daerah. Momentum pilkada serentak pun menjadi pertaruhan. Namun, menurut dia, pilkada serentak tak menjamin akan terjadi penurunan angka korupsi yang dilakukan kepala daerah.
"Pilkada serentak tentu ada manfaatnya, yakni melokalisasi kegaduhan nasional, tapi sama sekali tidak menjawab persoalan korupsi," kata Adnan, Selasa (28/9).
Adnan berpendapat, pilkada serentak tidak menjawab persoalan korupsi lantaran tak ada perbaikan dari sistem yang sebelumnya dilakukan. Indikasinya, kata dia, imbauan dari Mendagri agar partai politik melakukan tes integritas terhadap calon kepala daerah yang akan diajukan justru diabaikan. Ironisnya, tak sedikit calon kepala daerah yang diusung partai politik justru pernah terjerat kasus korupsi.
Menurutnya, demokrasi telah dibajak oleh elite partai politik yang akhirnya memarginalkan masyarakat secara luas. Sistem demokrasi yang dijalankan saat ini justru mendegradasi esensi dari demokrasi. Demokrasi di Indonesia, kata Adnan, baru terjadi pada tahap demokrasi formalitas dan belum masuk substansi. "Sistem politik kita berwatak manipulatif," ujar dia.
KPK mengimbau para calon kepala daerah agar menjauhi politik uang. Sebab, menurut Adnan, politik uang merupakan salah satu penyebab banjir korupsi yang terjadi selama ini. Semua calon kepala daerah harus menjadi yang terdepan dalam membangun pemerintahan yang bebas dari korupsi.
Adnan mewanti-wanti kepada seluruh peserta pilkada serentak 2015 untuk tidak melakukan tindakan yang masuk kategori korupsi. Lembaga antikorupsi ini akan terus memantau jalannya pilkada serentak untuk memastikan bebas dari korupsi. KPK, kata dia, tak akan tinggal diam jika memang menemukan ada pelanggaran yang berbau korupsi. KPK berjanji akan menindak tegas siapa pun yang terindikasi melakukan perbuatan jahat itu. Bahkan, KPK memastikan akan melakukan operasi tangkap tangan jika memungkinkan.
Menurut Adnan, pelaksanaan pilkada merupakan wajah dari suatu daerah. Pilkada akan menentukan nasib suatu daerah selama lima tahun ke depan. KPK tidak ingin hajatan demokrasi ini tercederai dengan adanya perilaku korupsi dari oknum-oknum tertentu. Sebab, kata dia, hal ini akan berimbas kepada masyarakat selama lima tahun ke depan.
nnya berbeda sehingga mereka harus belajar lagi. Gimana mau menyosialisasikan aturan baru kalau mereka (PPK, Red) saja belum paham,'' katanya.
Masalah kedua terkait dengan mekanisme di desa. Dia mengungkapkan, berdasar aturan lama, 150 desa di Kabupaten Tanah Bumbu hanya mendapat Rp 60 juta hingga Rp 100 juta. ''Tetapi, dalam aturan baru malah mendapat Rp 250 juta-Rp 300 juta,'' ucapnya.
Otomatis, dengan perubahan itu, desa pun harus melakukan perubahan APBD. ''Itu tentu memunculkan kebingungan. Apalagi SDM di desa tidak bisa dengan cepat mengubah APBD. Jadinya malah bingung,'' kata Mardani.
Itu masih dampak dari satu aturan. Belum lagi adanya perubahan aturan dari permendagri dan permenkeu. ''Jadi, waktunya terlalu mepet. Dana desa sudah ada, tetapi di Tanah Bumbu tidak ada yang berani menggunakan,'' ucapnya.
Di Tanah Bumbu, para kepala desa memang tidak terlalu peduli dengan dana desa dari pemerintah pusat. Sebab, kabupaten itu telah menerapkan penganggaran Rp 1 miliar untuk setiap desa.
Sementara itu, KPK mengimbau agar solusi mempermudah pencairan dana desa itu tidak membuka celah korupsi. Komisioner KPK Adnan Pandu Praja berharap pemangkasan aturan berdasar studi, tidak sekadar untuk mempercepat pencairan dana dari pemkab ke desa-desa. "Harus ada transparansi sejak perencanaan sampai evaluasi," ujar Pandu.
Sumber: Republika, 9 September 2015